Jumat, 17 Agustus 2012

ASKEP BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)


BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
A. Definisi.
BPH merupakn hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.

B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi  testosteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat   sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini terjadi terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%., dan pada usia 80 tahun angka kejadiannya sekitar 80%.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah proses meningkat, dan destrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat destrusor ke dalam kanung kemih dengan sistoskopi akan trlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos eluar diantara serat destrusor. Fase penebalan otot ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi utuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
C. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obsrtuksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih pada penderita berarti penderita harus menunggu pada permulaan kemihnya, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot destrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia,miksi sulit ditahan , dan disuria. Gejala obstruksi terjai karena destrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontrasi cukup lama sehingga kontraski terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kan   dng kemih, sehinga vesika sering  berkontraksi  meskipun belum penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin , jika keadaan ini terus berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total , sehingga penderita tidak mampu melakukan miksi lagi. Karena produksi urin yang terjadi trus menerus  maka pada akhirnya kandung kemih tidak mampu menampung urin lagi. sehingga tekanan vesika urinari terus meningkat. Dan jika hal ini dibiarkan terus menerus maka bisa menimbulkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.
D. Gambaran Klinik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan kadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, dan prostat, kelainan lin seperti benjolan didalam rektum dan prostat. Pada perabaan colok dubur harus diperhtikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris, adakah nodul alam prostat, apakah batas atas dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjlan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula diketahui batu prostat bila teraba adanya krepitasi.
Derajat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi sepontan. Sisa urin dtentukan dengan mengukur urin yang masih dapat dikeluarkan dengan sisa kateterisasi. Sisa urin inipula dapat ditentukan dengan dengan melakukan ultrasonografi kendung kemih melalui miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.
Derajat ostruksi juga dapat ditentukan dengan mengukur pancaran uri pada waktu miksi yang disebut uroflowmeter. Angka normal pancaran kemih rata-ata10-12ml/dt dengan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/dt. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/dt, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/ detik atau kurang.
E. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan Radiologi seperti foto polos dapat melihat pembesaran prostat. Pembesaran prostat dapat dilihat dengan lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih
Pemeriksaan yang lain dapat juga melalui ultrasonografi. Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (transrektal ultrasonografi=TRUS). Diamping untuk mengetahui pembesaran prostat juga dapat menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel, keadan tumor, dn batu. Dengan TRUS maka dapat diperkirakan besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprafubik.
Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila dalam anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan ini dapat memberui gmbaran kemungkinan tumor dalam kandung  kemih atau sumber perdarahan drai atas bila darah datang dari muara ureter , atau batu radiolusen didalam vesika.
Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan  prostat ke dalam uretra.

F. Penanganan
Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat gejala kliniknya. Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok duburdan sisa volume urin. Seperti yang tercantum dalam bagan berikut ini:

Derajat
Colok Dubur
Sisa Volume Urin
I
penonjolan prostat, atas atas mudah diraba
< 50 ml
II
penonjolan prostat jelas, batas atas  dapat dicapai
50-100 ml
III
batas atas prostat tidak dapat diraba
> 100 ml
IV
batas atas prostat tidak dapat diraba
retensi urin total

Penderita derajat I biasanya belum memerlukan tindakan bedah, cukup dengan pengobatan konservatif misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfa zosin, prazosin, dan terazosin. Keuntungannya adalah memberikan efek positif segera terhadap keluhan segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempunyai pengaruh terhadap proses hiperoplasi prostat sedikitpun.
Derajat II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endokopik melalui urethra (trans urethral resection=TUR). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8 %. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
Pada derajat III, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam., sebaiknya dilakukan bedah terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik, atau perineal
Selanjutnya untuk yang derajat IV tindakan yang segera harus dilakukan ialah membebaskan penderita dari retensi urintotal, dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis , kemudian terapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN KOLABORASI
  1. Masalah Keperawatan
a.       Retensi urin b.d sumbatan saluran pengeluaran pada kandung kemih: Benigna Prostatatic Hyperplasia.
b.      Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan secara aktif.
c.       Resiko infeksi  b.d kerusakan jaringan sebagai efek skunder dari prosedur pembedahan
d.      Nyeri akut b.d agent injuri fisik (spasme kandung kemih)
e.       Resiko kerusakan integritas kulit b.d faktor mekanik (tenaga gesekan, tekanan dan restrain).
2.      Maslah Kolaborasi
a.       PK: perdarahan

III. PERENCANAAN KEPERAWATAN
1.      Diagnosa no 1
„Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan secara aktif.“
a.       Tujuan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3 X 24 jam maka masalah kekrangan volume cairan dapat diatasi .
b.      Kriteria Hasil
·         Pasien mampu memper.
·         Pasien mampu mengatasi atau mengurangi gejala-gejala sumbatan
·         Pasien mampu memperbaiki atau mengetasi gejala iritasi.
·         Pasien mampu terbebas dari kerusakan saluaran urin.
c.       Intervensi dan rasionalisasi
No
Intervensi
Rasionalisasi
1
Masukan data mengenai riwayat urinari meliputi karakteristik, dan durasi gejala saluran urin  bawah.
Riwayat keperawatan yang terfokus, dapat mambantu menentukan perawatan atau penganan terhadap pasien kita.
2
Melakukan pengakajian yang terfokus pada fisik atau mereview hasil pemeriksaan fisik yang meliputi integritas jaringan kulit perineal, pengakajian neurologi yang meliputi sensasi kulit dan bulbouretral refleks.  
Pengkajian fisik membantu menentukan penyebab dan manajemennya.
3
Tentukan volume sisa urin  dengan melakukan kateterisasi segera setelah urinasi.
Kateterisasi merupakan metode tang efektif untuk menentukan volume residu.
4.
Kaji keparahan retensi urin dan dampaknya terhadap kualitas hidup.
Membantu menentukan efektifitas managemn terapi pasien.
5
Ajari klien dengan retensi urin  untuk membuat jadwal BAK perharinya.
Waktu atau tetangga team boleh jjuga tidak.
6.
ajari klien yang tidak bisa mengosongkan kandung kemihnya strategi khsuus untuk mengelola potensial medikal emergency yang meliputi:
·         Minum kopi atau teh panas
·         Mengusahakan BAK di tempt yang privaci-nya terjamin
·         Jika strategi diatas tidak berhasil, mandilah dengan air hangat mengunakan shower kemudian kosongkan kandung kemih.
·         Jika tidak mampu mengosongkan dalam 6 jam maka carilah pertolongan gawat darurat.
kopi atau teh hangat dapat memerangsang pengosongan kandung kemih.BAK ditempt yang terjamkin privacynya akan membantu merelaksaskan otot pelvic dan mebantu proses pengososngannya. Air hangat dapat mamicu dan memantu pengososngan
7
lepaskan  dower kateter pada malam hari untuk menurunkan resiko retensi uurin akut.
dapat memperesar permulaan pengosongan kandung kemih
8
masukan kateter permanen yang bagi pasien yang  tiidak cocok dengan intermitten kateterisasi
kateter tersebut dapat mengosongkan secara terus menerus.

2.      Diagnosa no 2
 „ Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan secara aktif
a.       Tujuan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3 X 24 jam maka masalah kekurangan volume cairan dapat diatasi
b.      Kriteria Hasil
·         Pasien mampu memperthankan pengeluaran kemih >1300 ml/24 jam
·         Pasien mampu mempertahankan tekanan darah, denyut nadi,  dn shu tubuh dalam rentang nomal.
·          Pasien mampu mempertahankan elastisitas kulit tubuhnya kelembaban lidah dan membran mukosa, berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu
·         Pasien mampu menjelaskan pengukuran yang dapat digunakan untuk mencegah kehilangan volume cairan.
c.       Intervensi dan rasionalisasi
No
Intervensi
Rasionalisasi
1
monitor keberadaan penyeab hilangnya cairan  berlebih
penemuan lebih dini penyebab hilangnya cairn dapat menurunkan keparahan atau kejadian komplikasi darikekurangan volume cairan.
2
monitor  total intake dan output cairan setiap 8 jam (setiap 1 jam untuk pasien yang tiak stabil) .
outpu urin < 30 ml/jammerupakan tanda insufsiensi bagi ungsi normal ginjal, dan merupakan tanda awal dari krusakan ginjal.
3
awasi trend output selama 3 hari meliputi semua rute jalam masuk dan pengeluaran kemudian catat warna dan BJ urin.
menitoring selama tigahari memberikan gmbaran yang lebih valid dianding hany sehari. Meningkatnyakegelapan warna caran dan BJ urin menunjukan peningkatan konsentrasi urin
4.
awasi tanda-tanda-tanda awal hypovolmia, meliputi kelemahan, kram otot, dan hipotensi postural.
temda-anda lanjutan meliputi oligour, nyeri perut dan dada, sianosos, kedinginan, kulit lembab, dan kebigungan
5
berikan masukan air segar melalui oral 1200 ml/hari
mempertahankan keseimbangan volume cairan.
6.
anjurkan untuk melakukan oral hygiene minimal 2 kali/ hari
oral hygiene menurtunkan perasan tidak nyaman dalam mulut dan memberikan kesempatn kepada klien mendapatkan rangsangn harus.
7
pantau drainase selama 24 jam  pertama. Perhatikan drainase gelap yang tidak menjadi kemerah-merahan atau drainase yang tetap kental setelah drainse
menujukan terjadiny pedaahan vena dalam sisi operasi
8
waspadai  warna merah terang knsal setiap waktu.
menunjukan terjadinya perdarahan lewat arteri.

3.      Diagnosa no 3
Resiko infeksi  b.d kerusakan jaringan sebagai efek skunder dari prosedur pembedahan
a.       Tujuan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3 X 24 jam maka masalah pasien terhindar dari infeksi.
b.      Kriteria Hasil
·         Pasien mampu terbebas dari tanda-tda infeksi.
·         Pasien mampu mendemonstrasikan perawatan yang cocok pada tempat nfeksi..
·          Pasien mampu mempertahankan jumlah dan macam-macam sel darah putih.
·         Pasien mampu mendemonstrasikan cara hidup sehat yang susuai..
c.       Intervensi dan rasionalisasi
No
Intervensi
Rasionalisasi
1
observasui dan laporkan tanda-tanda infeksi seperti kemerahan, kehangatan, dan pningkatan ntemperatu rrubuh
with the onset of infection the imune sistem is aktivated and signs of infectien apear..
2
kaji temperatur klien setiap 4 jam, laporkan jika terdapat kenakan sampai dengan 38,5 0C
mnunjukan terjadiny proses inflamsau yang terjadi didalam tubuh.
3
gunakan hermometer untak mengeukur emperatur tubuh.
menentukan temperatur tubuh sehingga dapat ditentukan terapinya.
4.
kaji warna kulit, kelembabam, kelembutan, tekstur, dnn turgor kulit.catat dengan cermat erunaham yang terjadi.
mempertahankan kondisi kukit aka mempertahankan kekuatan kulit dari serangan infeksi.
5
anjurkan untuk memperoleh gizi seimbang
sistem imun dapat leih iaktifkan dengan intake protein keseimbangan antara lemak onega 4 dan 3 dan jumlah vitamin A, C, dan E dan mine seng dan bes. Kekeurangan zat tersebut diatas dapat meningkatkan resiko infeksi.i
6.
anjurjkan mengkonsumsi cairan dalam jumlah yang cukup.
mencegah pengentalan sekret da nmengganti cairan yang hilang..
7
mencuci tangan dengan teknik yang benar sebelum dan sesudah memberikan perawatamn terhadp klien.
menurunkan angka nosokomial.

4.      Diagnosa no 4
Nyeri akut b.d agent injuri fisik (spasme kandung kemih)
a.       Tujuan
Setelah dilakukan keperawatan selama 5 X 24 jam maka nyeri pada pasiien dapat diatai.
b.      Kriteria Hasil
·         Pasien mampu menggunakan skala nyeri dalam menentukan derajat nyerinya.
·         Pasien mengetahui  bagamana cara mengurangi nyeri,
·          Mampu melakukan aktivitas dengan beradaftasi terhadap nyerinya..
·         mampu mendapatkan tidur yang yang cukup baik secara kualitas maupun kuantitas.
c.       Intervensi dan rasionalisasi
No
Intervensi
Rasionalisasi
1
tentukan apakah pneyrinya itu saat pengkajian atau tidak . jika ia bantu pasien untukemnurunkkan nyerinya tersebut.
intensitas, onset, durasi, dan peningkatan nyeri hendaknya dikaji untukmedpatkan data yang esensial..
2
tnyakan kepada klien mengenai pengalaman nyeri yang pernah ia alami dan metode yang digunakan untuk menurunkanya.
beberapa faktor penhambat dapat menghilangkan ekinginan klien untuk melaporkan neyri dan mengunakan obat analgesik.
3
mintalah kepada klien untuk melaporkn lokasi, intensitas dengan mengunakan skala nyeri, dan kualitas nyeri.
intensitas, lokasi dan kalitas nyeri hendaknya dilaporkan setelah prosedur tindakan untuk mengetahui keberhasilan treatmen
4.
eksplor kebutuhan p[asien dengan obat anlgesik opioid dan non-opioid.
intervensi pharmakologi merupakan alat utama sebagai penurun nyeri.
5
ajari pasien metode nonfharmakologi untuk menurunkan nyeri klien
digunakaan untuk sebagai suplemen dari metode phmakologik.
6.
anjurjkan pasien untuk menggunakan obat analgesik sesua dengan yang dianjurkan.
mencegah terjadinya penyalahgunaanobat

V. DAFTAR PUTAKA
1. Jong et al. 1997. Buku Ajar Bedah. EGC: Jakarta
2. Swearingen. 2001. keperawatn Medikal Bedah. EGC. Jakarta
3. Nanda. 2004. Nursing Diagnosis A Guide to Planning Care. Down load from www.Us.Elsevierhealth.
4. Joane et al. NIC. 1995. Mosby USA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar