Minggu, 19 Agustus 2012

TB PARU


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Seiring dengan kemajuan masyarakat yang sangat pesat, terjadi perubahan yang menyeluruh disegala aspek kehidupan.  Salah satunya adalah faktor lingkungan yaitu lingkungan yang kumuh, ada salah satu warga yang menderita TB serta perubahan pola penyakit yang diduga ada hubungannya dengan gaya hidup seperti kebiasaan merokok.  Gaya hidup yang tidak diperhatikan inilah yang menyebabkan tingginya penyakit Tuberkulosis Paru. Karena Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara.  Penularan dapat terjadi antara lain,  melalui batuk, bersin, berbicara atau meludah dengan penderita TB.  Hanya dalam jumlah kecil sudah cukup untuk transmisi penyakit ini.  TB disebabkan oleh basil Mycobacterium Tuberkulosis, sejenis bakteri tahan asam (BTA) dan ditandai dengan pembentukan tuberkel di jaringan paru ( Arif, 2009).
         Angka insidensi kasus Tuberkulosis Paru menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO ) memperkirakan bahwa 9,4 juta orang menderita  Tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyebab kematian nomor tujuh di dunia. Tuberkulosis  telah membunuh 1,8 juta orang di seluruh dunia tahun 2009. Tuberkulosis  adalah tiga penyakit utama yang terkait erat dengan kemiskinan, dua lainnya adalah AIDS dan Malaria (Anonim, 2010).
         Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dengan jumlah penderita Tuberkulosis terbanyak setiap tahunnya yaitu 500.000 kasus baru.  Berdasarkan Sensus Kesehatan Rumah Tangga 2004, TB tergolong 4 besar (untuk angka kematian), dan menjadi penyebab kematian nomor dua.  Tingkat perkembangan Bakteri Tahan Asam positif di Indonesia adalah 0,3% (2004), dan diharapkan pada tahun 2010 prevalensinya turun menjadi 0,2% (Unram, 2010).  Sedangkan di Yogyakarta saat ini ada 2000 orang penderita Tuberkulosis                         ( Mediainfokota, 2010).
Menurut data register yang ada di Bougenvil 3 RSUP Dr Sardjito dari bulan Januari 2010 sampai bulan  15 Juli 2010 didapat penderita TB sebanyak 26 orang (8,7%) ( Buku Register Bougenvil 3 RSUP Dr Sardjito, 2010).
Data di atas menunjukkan bahwa dibutuhkan peran perawat meliputi: upaya promotif yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan individu, keluarga dengan jalan memberikan penyuluhan kesehatan tentang TB, meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta cara perawatan TB.  Upaya preventif, ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan TB melalui kegiatan pemeriksaan kesehatan secara berkala, dan menghindari faktor penyebab Tuberkulosis.  Upaya kuratif, meliputi pengobatan secara rutin, melalui perawatan di rumah sakit.  Upaya rehabilitatif, meliputi masa pemulihan bagi penderita TB paru.
         Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengetahui gambaran Asuhan Keperawatan pada pasien Tuberkulosis Paru dan menyusunnya dalam suatu Studi Kasus dengan judul ”Asuhan Keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?”.  Adapun sub rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana melakukan pengkajian pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
2.   Bagaimana merumuskan diagnosa pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
3.   Bagaimana merencanakan tindakan keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
4.   Bagaimana melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
5.   Bagaimana melaksanakan evaluasi tindakan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
6.   Bagaimana mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien       Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
C.    Ruang Lingkup
Asuhan keperawatan pada pasien Tuberkulosis Paru termasuk dalam ajaran Keperawatan Medikal Bedah, khususnya pada pokok bahasan sistem pernafasan.   Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, proses evaluasi, dan dokumentasi meliputi aspek bio, psiko, sosial dan spiritual selama 3 hari mulai tanggal 12 Juli 2010, pukul 07.00 sampai dengan 15  Juli 2010, pukul 07.00  dengan mengambil kasus pada pasien Tuberkulosis Paru yang dirawat di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.



D.    Tujuan Penulisan
1.   Tujuan Umum
Asuhan keperawatan ini disusun untuk mendapatkan pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2.   Tujuan Khusus
Penulis mendapatkan pengalaman nyata dalam :
a.   Melaksanakan pengkajian pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
b.   Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
c.   Merencanakan tindakan keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
d.   Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
e.   Melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
f.    Melaksanakan proses pendokumentasian keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
g.   Mengidentifikasi faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Ny “L” dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
E.    Manfaat Penulisan
1.   Bagi Penulis
Dengan melakukan asuhan keperawatan secara langsung pada pasien Tuberkulosis di Ruang Bougenvile 3 Instalasi Rawat Inap 1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta maka penulis dapat memperoleh pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Tuberkulosis Paru dengan mengaplikasikan langsung teori yang diperoleh.
2.   Bagi Rumah Sakit RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pelaksana keperawatan khususnya di ruang Bougenvile 3 menggunakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Tuberkulosis Paru.
3. Bagi Institusi Akper YKY
Merupakan bahan bacaan dan bagi mahasiswa Akper “YKY” untuk menambah wawasan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Tuberkulosis Paru.

4. Bagi Profesi Keperawatan
Karya tulis ilmiah ini diharapkan mampu menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi anggota profesi keperawatan menggunakan asuhan keperawatan pada pasien Tuberkulosis Paru.
F.     Metode
Metode yang digunakan untuk penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini menggunakan metode deskriptif yaitu dengan menggambarkan suatu masalah dan cara menyelesaikan masalah dalam bentuk asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Sedangkan data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1.     Data Primer
Data primer dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut :
a.      Wawancara
Yaitu pengumpulan data dengan menanyakan atau tanya jawab yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh pasien dengan tujuan untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan masalah keperawatan pasien serta untuk menjalin hubungan antara perawat dan pasien.  Data yang diperoleh dari wawancara seperti: pasien mengeluh sesak nafas dan nyeri dada.
b.     Observasi
Observasi adalah dengan mengamati perilaku serta keadaan pasien dengan Tuberkulosis Paru untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan pasien. Unsur terpenting dalam observasi adalah mempertahankan obyektivitas penilaian. Mencatat hasil observasi secara khusus tentang apa yang dilihat, dirasakan, dicium, dan dikecap akan lebih akurat dibandingkan mencatat interprestasi seseorang tentang hal tersebut. Contoh data hasil observasi antara lain: rambut kotor, kulit sianosis, dan konjungtiva anemis.
c.      Pemeriksaan Fisik
Melakukan pemeriksaan fisik secara sistematis (cepahalo-caudal) dengan menggunakan 4 teknik yaitu:
1)   Inspeksi
Yaitu sebagai kegiatan melihat atau memerhatikan secara seksama status kesehatan klien. Kunci keberhasilan inspeksi dengan mengetahui apa yang seharusnya kita lihat atau kita amati, misalnya dilakukan untuk memeriksa keadaan kulit dan jaringan mukosa, bentuk dada, adanya retraksi dada dan sebagainya.
2) Palpasi
Palpasi dilakukan dengan menggunakan sentuhan atau rabaan. Contohnya, pada pasien Tuberkulosis, palpasi dada untuk mengetahui lokasi nyeri pada dada atau untuk mengetahui adanya massa pada dada serta penurunan atau peningkatan taktil fremitus.
                          3) Perkusi
Perkusi adalah metode pemeriksaan dengan cara mengetuk. Tujuan perkusi adalah untuk menentukan batas-batas organ atau bagian tubuh dengan cara merasakan vibrasi yang ditimbulkan akibat adanya gerakan yang diberikan ke bawah jaringan. Dengan perkusi dapat membedakan apa yang ada di bawah  jaringan (udara, cairan atau zat padat). Contohnya,  perkusi rongga dada untuk mengetahui status paru atau jantung.
                          4) Auskultasi           
Auskultasi merupakan metode pengkajian yang menggunakan stetoskop untuk memperjelas pendengaran. Perawat menggunakan stetoskop untuk mendengarkan bunyi jantung, paru-paru, bunyi usus untuk mengukur tekanan darah dan denyut nadi, misalnya adanya bunyi mengi, ronchi, rales akibat penumpukan sputum pada saluran pernafasan atau bunyi jantung.
2.   Data Sekunder
Yaitu data yang didapat dari catatan tentang klien dan literatur teori, dibagi menjadi:
a.      Wawancara
Dilakukan pada keluarga dan tim kesehatan lain. Data yang diperoleh yaitu keluhan dan masalah kesehatan klien.
b.   Studi Dokumentasi
Mempelajari catatan perkembangan dan hasil pemeriksaan penunjang lain dalam status pasien.
c.  Studi Kepustakaan
Mempelajari literatur yang mendukung dan mendasari dalam pelaksanaan pembuatan laporan keperawatan ini sehingga memperkuat data dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien.
G. Sistematika Penulisan
Karya tulis ilmiah ini terdiri dari 5 BAB yaitu :
BAB I     : PENDAHULUAN
Meliputi latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan penulisan, manfaat, metode dan sistematika penulisan.
BAB II    : TINJAUAN PUSTAKA
Meliputi gambaran umum Tuberkulosis Paru dan Asuhan keperawatan pada pasien dengan Tuberkulosis Paru.
BAB III   : TINJAUAN KASUS
                  Meliputi pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi, evaluasi, catatan perkembangan.



BAB IV  : PEMBAHASAN
                  Membahas dan membandingkan antara teori yang ada di BAB II dengan kasus yang terjadi di BAB III serta mengidentifikasi faktor penghambat dan faktor pendukung yang ada.
      BAB V   :  PENUTUP
Bab yang terakhir berisikan mengenai kesimpulan dan saran dari karya tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Istilah “ablasio retina” (retinal detachment) menandakan pemisahan retina yaitu fotoreseptor dan lapisan bagian dalam, dari epitel pigmen retina dibawahnya.  Terdapat tiga jenis utama : ablasio regmatogenosa, ablasio traksi dan ablasio serosa atau hemoragik.
Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasio retina adalah ablasio retina regmatogenosa. Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio retina 1 dalam 15.000 populasi dengan prevalensi 0,3%. Sedangkan insiden per tahun kira-kira 1 diantara 10.000 orang dan lebih sering terjadi pada usia lanjut kira-kira umur 40-70 tahun. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D) memiliki 5% kemungkinan resiko terjadinya ablasio retina, afakia sekitar 2%, komplikasi ekstraksi katarak dengan hilangnya vitreus dapat meningkatkan angka kejadian ablasio hingga 10%.3

1.2.Batasan masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada anatomi retina, fisiologi retina, klasifikasi ablasio retina, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis ablasio retina.

1.3.Tujuan penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami tentang ablasio retina.
1.4 Metode penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Retina
Gambar 1. Anatomi retina
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut:1
  1. Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan vitreous.
  2. Lapisan serabut saraf, merupakan akson-akson sel ganglion menuju saraf ke arah saraf optic.
  3. Lapisan sel ganglion, merupakan badan sel dari neuron kedua.
  4. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aseluler tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
  5. Lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller.
  6. Lapisan pleksiform luar, merupakan tempat sinaps sel fotoresptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
  7. Lapisan inti luar, merupakan lapisan inti sel kerucut dan sel batang.
  8.  Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.
  9. Lapisan fotoreseptor, terdiri dari sel batang dan kerucut.
  10. Lapisan epitel pigmen retina, merupakan batas antara retina dan koroid

Gambar 2. Lapisan retina
Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optic yang akan memberikan nutrisi dalam retina. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid.
Gambar 3. Gambaran retina normal

2.2. Fisiologi Retina1
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf  retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Macula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu  molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuhnya terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan.
Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, jika senja hari diperantarai  oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.
2.3. Ablasio Retina2
2.3.1. Definisi
2.3.2. Etiologi4
            1. Robekan retina
            2. Tarikan dari jaringan di badan kaca
            3. Desakan tumor, cairan, nanah ataupun darah.
2.3.3. Klasifikasi1,2
            Terdapat tiga jenis utama : ablasio regmatogenosa, ablasio traksi dan ablasio serosa atau hemoragik.
1.     Ablasio Retina Regmatogenosa
Merupakan bentuk tersering dari ablasio retina. Pada ablasio retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi akibat adanya robekan di retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.
            Letak pemutusan retina bervariasi sesuai dengan jenis : Robekan tapal kuda sering terjadi  pada kuadran superotemporal, lubang atrofi di kuadran temporal,dan dialysis retina di kuadran inferotemporal. Apabila terdapat robekan retina multipel maka defek biasanya terletak 90° satu sama lain.
Gambar 4. Robekan tapal kuda

            Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.
Gambar 5.

2.     Ablasio Retina Traksi
Merupakan jenis tersering kedua, dan terutama disebabkan oleh retinopati diabetes proliferatif, vitreoretinopati proliferatif, retinopati pada prematuritas, atau trauma mata. Ablasio retina karena traksi khas memiliki permukaan yang lebih konkaf dan cenderung lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora seratta. Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina, dan penglihatan turun tanpa rasa sakit.
Gambar 6. Ablasio retina traksi

3.     Ablasio Retina Serosa Atau Hemoragik
Ablasio ini adalah hasil dari penimbunan cairan dibawah retina sensorik, dan terutama disebabkan oleh penyakit epitel pigmen retina dan koroid. Penyakit degenerative, inflamasi, dan infeksi yang terbatas pada macula termasuk neovaskularisasi subretina yang disebabkan oleh berbagai macam hal, mungkin berkaitan dengan ablasio retina jenis ini.

2.3.4. Diagnosis5
Tabel 1. Gambaran Diagnosis Dari Tiga Tipe Ablasio Retina

Regmatogenus
Traksi
Eksudatif
Riwayat penyakit
Afakia, myopia, trauma tumpul, photopsia, floaters, gangguan lapangan pandang yang progresif, dengan keadaan umum baik.
Diabetes, premature,trauma tembus, penyakit sel sabit, oklusi vena.
Factor-faktor sistemik seperti hipertensi maligna, eklampsia, gagal ginjal.
Kerusakan retina
Terjadi pada 90-95 % kasus
Kerusakan primer tidak ada
Tidak ada
Perluasan ablasi
Meluas dari oral ke discus, batas dan permukaan cembung tergantung gravitasi
Tidak meluas menuju ora, dapat sentral atau perifer
Tergantung volume dan gravitasi, perluasan menuju oral bervariasi, dapat sentral atau perifer
Pergerakan retina
Bergelombang atau terlipat
Retina tegang, batas dan permukaan cekung, Meningkat pada titik tarikan
Smoothly elevated bullae, biasanya tanpa lipatan
Bukti  kronis
Terdapat garis pembatas, makrosis intra retinal, atropik retina
Garis pembatas
Tidak ada
Pigmen pada vitreous
Terlihat pada 70 % kasus
Terlihat pada kasus trauma
Tidak ada
Perubahan vitreous
Sineretik, PVD, tarikan pada lapisan yang robek
Penarikan vitreoretinal
Tidak ada, kecuali pada uveitis
Cairan sub retinal
Jernih
Jernih atau tidak ada perpindahan
Dapat keruh dan berpindah secara cepat tergantung pada perubahan posisi kepala.
Massa koroid
Tidak ada
Tidak ada
Bisa ada
Tekanan intraocular
Rendah
Normal
Bervariasi
Transluminasi
Normal
Normal
Transluminasi terblok apabila ditemukan lesi pigmen koroid
Keaadan yang menyebabkan ablasio
Robeknya retina
Retinopati diabetikum proliferative, post traumatis vitreous traction

Uveitis, metastasis tumor, melanoma maligna, retinoblastoma, hemangioma koroid, makulopati eksudatif senilis, ablasi eksudatif post cryotherapi atau dyathermi.
           
Pemeriksaan: 3
  1. Pemeriksaan tajam  penglihatan
  2. Pemeriksaan lapangan pandang
  3. Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma
  4. Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan adanya trauma.
  5. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal, pemeriksaan vitreous untuk mencari tanda pigmen atau “tobacco dust”, ini merupakan patognomonis dari ablasio retina pada 75 % kasus.
  6. Periksa tekanan bola mata.
  7. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan berdilatasi)
2. Retinopeksi pneumatic  : udara dimasukkan ke dalam viterus. Dengan cara ini retina dapat dilekatkan kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum atau sesudah penyuntikan gas atau koagulasi dengan laser yang dilakukan di sekitar defek retina setelah perlekatan retina. Pelepasan dengan robekan tunggal pada retina  di tepi atas fundus (arah jam 10- jam 2) adalah kondisi yang paling bagus untuk prosedur ini.
Gambar 7. Skleral buckling


4.     Pars Plana Vitrektomi : dibawah mikroskop, badan vitreus dan semua komponen penarikan epiretinal dan subretinal dikeluarkan. Lalu retina dilekatkan kembali dengan cairan perfluorocarbon. Defek pada retina ditutup dengan endolaser atau aplikasi eksokrio.
Keuntungan PPV:
1.     Dapat menentukan lokasi defek secara tepat
2.     Dapat mengeliminasi media yang mengalami kekeruhan karena teknik ini dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak.
3.     Dapat langsung menghilangkan penarikan dari vitreous.
Kerugian PPV:
1.     Membutuhkan tim yang berpengalaman dan peralatan yang mahal.
2.     Dapat menyebabkan katarak.
3.     Kemungkinan diperlukan operasi kedua untuk mengeluarkan silicon oil
4.      Perlu follow up segera (terjadinya reaksi fibrin pada kamera okuli anterior yang dapat meningkatkan tekanan intraokuler.


Gambar 9. Vitrektomi

2.3.6. Prognosis7
2. Ablasio retina mempunyai risiko berulang.
http://www.scribd.com/doc/49591219/ablasio-retina


Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel berpigmen  retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne, 2002). http://nursingbegin.com/askep-ablasio-retina/
C. Smeltzer, Suzanne (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner & Suddart) . Edisi 8. Volume 3. EGC. Jakarta